Diantara tumpukan kardus bekas yang tergeletak di bawah pohon
jambu, disamping kanan rumah, terdengar isak tangis seorang manusia yang
sayup-sayup memilukan hati. Isak tangis yang keluar dari pikiran-pikiran yang
membayangkan akan nasib baik yang selama ini ia dapatkan,kini tak kunjung
datang.Ya, begitulah air mata yang membasahi kardus-kardus bekas, saksi bisu
akan kesedihan Razali selama ini.
Bayangan-bayangan yang terpampang dibenaknya membuat hati razali
semakin kalut. Bayangan akan universitas yang baik dan modern, teman yang
berdaya saing tinggi, wibawa yang disanjung-sanjung serta pujian dari
masyarakat membuat Razali sekali lagi menitikkan air mata di kardus-kardus
bekas itu. Andaikan saja hujan tak datang, tentunya Razali tak hentinya
meratapi dan menyesali nasibnya sebagai bagian dari orang-orang miskin. Padahal
dibalik itu Tuhan punya rencana lain buat Razali.
Sedari kecil Razali telah dididik akan kesederhanaan. Kebiasaan
inilah yang Razali bawa sampai hari ini. Namun sebagai insan global rasanya tak
cukup bagi Razali akan sifat kesederhanaan. Sesuatu yang mewah yang selalu
diimpikan Razali.
“Zali…Zali…!”, terdengar suara yang berasal dari dalam rumah dan
ternyata itu ibu Razali.
“Iye nyak, aye disini”, sahut Razali.
“Ngepel sana mumpung lagi ujan,abis ntu cuci piring ame cuci baju
yang ditumpuk dipojok rumah.Nyak mao masak dulu buat elu, mpok luh ame babeh
luh”.
“Baek nyak…”, sahut Razali.
Razali adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak Razali
hanyalah seorang kuli bangunan yang gajinya tidak menentu. Kadang ada, kadang
tiga bulan tidak bekerja. Demi memperingan beban keluarga ibu Razali berjualan
nasi uduk didepan rumahnya dan kakaknya menunggui wartel yang terletak
diseberang jalan. wartel yang ditungguinya saban hari. Itulah gambaran keluarga
Razali yang jauh dari hiruk-pikuk kesenangan dan kemewahan.
Seharusnya Razali mesti rajin-rajin bersyukur, pasalnya nasib
mujur yang dibawanya dari kecil hingga menginjak SMA sekarang ini mengantarkan
dia kepada kehidupan yang baru buatnya, kemajuan zaman kini dapat ia rasakan
kendati bagi orang lain merupakan hal-hal yang sudah lumrah dan tak perlu
diperbincangkan.
Nasibnya membawa dia selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya.
Dengan sifat “tak mau kalah” membuatnya mempunyai dorongan untuk menunjukkan
prestasinya yang dirasa cukup membanggakan orang tuanya. Ia memasuki sekolah
yang diidamkannya., sekolah para orang elite dengan fasilitas yang memadai.
Razali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan langkah suksesnya yang akan ia
gapai di kemudian hari. Sekolah bertaraf Internasional membuatnya bangga akan
hal itu. Karena jauh dari rumahnya akhirnya Razali menumpang di rumah pamannya selama
dua tahun. Oh…ya sekolahnya membuat percepatan belajar ( kata orang mah namanya
akselerasi ) yang tadinya tiga tahun kini menjadi dua tahun. Bukankah itu
sebuah nasib mujur. Disela-sela kesehariannya tak terasa sudah menginjak usia
satu tahun setengah, sedikit lagi Razali harus keluar dari sekolah ini.
“Razali…luh mau kuliah kemana…?”, tanya temannya asal ceplos
membuyarkan lamunannya…
“eh…kagak tau nih gua mah kalo ada duit ya kuliah, kalo kagak ada
ya udah, gua gak kuliah paling juga gua kerja”, jawab Razali dengan aksen
betawi yang kental.
Di sekolah ini banyak hal yang tidak pernah Razali temui dan tak
pernah ia dapatkan sebelumnya. Mulai dari teman yang berasal dari berbagai
daerah sampai fasilitas yang tak pernah ditemui Razali, ada disini. Nasib baik
selalu menimpanya namun Razali belum menyadarinya. Razali adalah anak baik yang
patuh pada agamanya dan orang tuanya serta mendapat perlakuan baik dari
teman-temannya. Ia diperlakukan sebagai anak lainnya, tanpa menghiraukan
darimana dan bagaimana keadaan keluarganya. Memang sekarang ini punya teman
yang baik hati yang mau menerima teman apa adanya jarang dijumpai. Pasalnya
banyak remaja yang gengsi yang hanya mau berteman dengan sederajatnya tanpa
mempedulikan rasa tenggang rasa, mencibir kalangan bawah serta selalu
mengejeknya. Ingin rasanya memperlihatkan padanya akan kemelut sebenarnya
orang-orang yang mereka hina.
Padat sekali aktivitas Razali di sekolah ini. Ya…demi orang tua,
kata Razali menyangkal anggapan negatif. Aktivitas yang menyita waktunya ini
membuat dia tak sempat lagi memikirkan kemana dan bagaimana kelanjutan studinya.
Dengan dibekali rasa percaya diri, Razali terus merangkak maju
meninggalkan ketidaktahuan akan dunia sebenarnya. Dulu ia menganggap dunia
segitu-gitu aja. Gak akan ada kemajuan yang berarti. Razali tak merasa harus
ambil bagian dari kehidupan ini. Ia rasa sudah cukup dengan hanya menjalaninya.
“Jalanin aja gak usah macem-macem deh. Jalanin aja apa yang udah ada, kok idup
dibikin susah”, ketus Razali di bibirnya.
Namun kini Razali mulai menyadari akan kepolosannya. Ia seringkali
melamun, ternyata memang kita harus ambil bagian dari kehidupan ini, dari zaman
ini agar tidak ketinggalan zaman. Baru kali ini ia sadar akan kepolosannya.
Namun itu cukup menggembirakan dan mendapat acungan jempol. Razali belum
terlambat menjadi insan globalisasi.
Razali di sekolah punya seorang guru yang dianggapnya mampu
dijadikan ibu, ibu guru yang dia hormati ketimbang guru lainnya. Namanya Ibu
Mala, ia berasal dari Malang, namun nasibnya tak semalang nasib Razali. Dia
mengajar pelajaran Kimia, alih-alih dia berbakat, karena kemampuannya berbahasa
Jerman. Razali jatuh cinta pada ke-2 pelajaran itu, dia ingin menguasainya. Ibu
Mala sering menasehatinya. Masih terngiang di telinganya ketika suatu hari Bu
Mala menasehatinya seperti ini :
Walaupun kita dari oarng-orang kalangan rendah, jangan sekali-kali
rendahan dan mengangap diri kita rendah. Asam garam yang telah kita alami
sebagai seorang kalangan rendah seharusnya membuat kita semakin mantap menapaki
masa depan. Kita sudah kenyang makan kesedihan, kedukaan, kelaparan, dan
ketidaknyamanan. Bayangkan saja orang-orang elite yang bangkrut mereka lebih
mudah untuk menjadi gila ketimbang kita, mereka yang selama ini dibuai oleh
kekayaan, pangkat, dan jabatan yang sangat disanjung-sanjungnya.
Itulah nasehat yang diberikan oleh guruku, ibuku di sekolah.
“Sekali lagi aku menyesal kenapa dulu aku sesalkan kehidupanku. Toh sekarang
aku adalah anak yang selalu mujur. Mungkin aku lebih beruntung daripada
teman-temanku yang lainnya yang harus berhenti sekolah dan bekerja dengan keras
guna bertahan hidup”, seru Razali dengan Indonesianya yang bagus.
Mulai saat itu ia mantapkan untuk tidak menyesali kehidupan ini
dan maju menyongsong kesuksesannya di masa depan. Namun satu hal yang Razali
belum biasa melupakannya, yaitu keinginan untuk masuk ke universitas yang
bagus, yang biasa dibanggakan.
“Razali…Razali…elu masuk kuliah aja uda untung, kagak usah mikirin
yang enggak-enggak”. Nasihat itu meluncur dari kakak Razali, ketika Razali
menanyakan keinginannya untuk masuk kuliah di perguruan tinggi yang bagus dan
juga elite. Memang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga tidak usah memikirkan
universitas bagus, toh semua universitas bagus kok, mungkin cuma imej, wibawa,
dan pandangan masyarakat.
Universitas ecek-ecekan, begitulah orang-orang elite menamai
universitas yang tidak terkenal, bermutu kurang, dan fasilitas yang kurang.
Padahal bagi orang seperti Razali, segini saja sudah cukup.
Memasuki dunia perkuliahan, tak gentar upaya Razali untuk
meningkatkan derajat hidupnya. Dunia perkuliahan adalah masanya kebebasan bagi
para remaja. Namun kebebasan Razali adalah kebebasan untuk lepas dari lingkar
kesengsaraan yang selama ini mengitari hidupnya. “Bebas tetapi terbatas. Ya,
terbatas karena gua punya beban berat yang gua emban, yang mesti gua pecahkan.
Istilahnya gua ini adalah aset keluarga gua. Gua emang enggak nyalahin mereka,
memang keadaannya seperti itu. Bayangin aja, keluarga gua nyari duit buat gua,
buat anak dan adek yang dapat mereka banggakan di kemudian hari”.
Sambil kuliah, Razali berjualan koran pada pagi hari.
Hitung-hitung nungguin dompet kosong melompong yang selama ini melekat di
kantongnya. Saat yang dinantikan oleh para mahasiswa yaitu “hari wisuda”, hari
dimana dimulai babak baru penerapan ilmu yang sudah kita dapati sebelumnya.
Dengan bekal sarjana Teknik Kimia dan pandai berbahasa Jerman Razali melepas
masa kuliahnya. Sehari setelah wisuda, Razali menapaki tanah ibukota yang
memang tanah kelahirannya. Yang katanya ibukota itu lebih kejam daripada ibu
tiri. Jalan-jalan di Jakarta sering membuat Razali kesasar. Maklumlah walaupun
seorang anak Jakarta asli, tetapi wilayahnya sendiri tidak tahu. Razali itu
betawi (betah di wilayah) banget.
Sampailah ia pada suatu area kawasan industri, disitu ada
perusahaan makanan yang gede banget gedungnya. Mumpung ada lowongan kerja yang
membutuhkan teknik kimia, Razali coba-coba untuk melamar pekerjaan di
perusahaan itu. Alhamdulillah, sujud dan rasa syukur yang tiada henti-hentinya
ia kumandangkan seminggu kemudian setelah ia dinyatakan lulus seleksi
masuk perusahaan itu. Rasanya seperti mendapatkan buah-buahan runtuh, bukan
hanya durian, apel, jeruk, pun ikut-ikutan runtuh.
Setelah satu tahun dia mengabdi disana, dan dengan sifat kerja,
dedikasi yang tinggi , dan kemampuan yang terampil membuat Razali dihormati
oleh para seniornya. Razali termasuk bagian dari empat karyawan perusahaan itu
yang akan diberangkatkan ke Jerman untuk melanjutkan studinya agar dapat lebih
dipraktekkan di perusahaan tersebut. Puji syukur beribu-ribu syukur atas
karunia yang telah diberikan tuhan padanya.
Menyesallah sudah, mengapa dia dahulu meratapi nasibnya. Ternyata
nasibnya selalu mujur. Tuhan memang sayang pada Razali. Dengan bekal ridha dari
orang tuanya dan dana yang cukup inilah, yang membuat mantap langkah Razali
untuk melancong ke negara teknologi itu. Bekal bahasa yang dimilikinya turut
membantunya. Segala keinginannya tercapai dan doa yang selama ini ia panjatkan
terkabul juga.
Razali menjadi orang besar di kampungnya. Keluarganya menjadi
orang terpandang. Anak seorang kuli bangunan dan penjual nasi uduk pergi ke
negara lain guna berbakti pada orang tua dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Tanpa sadar Razali sudah menjadi bagian dari insan globalisasi. Tak sia-sia ia
mematuhi nasihat-nasihat yang selama ini didapatkannya. Kini Razali tinggal
bersama kakak dan kedua orang tuanya di rumah gedongan.
“Ich Liebe Mein Eltern”
0 comments:
Posting Komentar