Andai saja bahagia itu tidak bersyarat, maka bunga mawar tidak perlu berduri

Selasa, 06 November 2007

Kisah si Razali…



Diantara tumpukan kardus bekas yang tergeletak di bawah pohon jambu, disamping kanan rumah, terdengar isak tangis seorang manusia yang sayup-sayup memilukan hati. Isak tangis yang keluar dari pikiran-pikiran yang membayangkan akan nasib baik yang selama ini ia dapatkan,kini tak kunjung datang.Ya, begitulah air mata yang membasahi kardus-kardus bekas, saksi bisu akan kesedihan Razali selama ini.

Bayangan-bayangan yang terpampang dibenaknya membuat hati razali semakin kalut. Bayangan akan universitas yang baik dan modern, teman yang berdaya saing tinggi, wibawa yang disanjung-sanjung serta pujian dari masyarakat membuat Razali sekali lagi menitikkan air mata di kardus-kardus bekas itu. Andaikan saja hujan tak datang, tentunya Razali tak hentinya meratapi dan menyesali nasibnya sebagai bagian dari orang-orang miskin. Padahal dibalik itu Tuhan punya rencana lain buat Razali.

Sedari kecil Razali telah dididik akan kesederhanaan. Kebiasaan inilah yang Razali bawa sampai hari ini. Namun sebagai insan global rasanya tak cukup bagi Razali akan sifat kesederhanaan. Sesuatu yang mewah yang selalu diimpikan Razali.
“Zali…Zali…!”, terdengar suara yang berasal dari dalam rumah dan ternyata itu ibu Razali.
“Iye nyak, aye disini”, sahut Razali.
“Ngepel sana mumpung lagi ujan,abis ntu cuci piring ame cuci baju yang ditumpuk dipojok rumah.Nyak mao masak dulu buat elu, mpok luh ame babeh luh”.
“Baek nyak…”, sahut Razali.

Razali adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak Razali hanyalah seorang kuli bangunan yang gajinya tidak menentu. Kadang ada, kadang tiga bulan tidak bekerja. Demi memperingan beban keluarga ibu Razali berjualan nasi uduk didepan rumahnya dan kakaknya menunggui wartel yang terletak diseberang jalan. wartel yang ditungguinya saban hari. Itulah gambaran keluarga Razali yang jauh dari hiruk-pikuk kesenangan dan kemewahan.

Seharusnya Razali mesti rajin-rajin bersyukur, pasalnya nasib mujur yang dibawanya dari kecil hingga menginjak SMA sekarang ini mengantarkan dia kepada kehidupan yang baru buatnya, kemajuan zaman kini dapat ia rasakan kendati bagi orang lain merupakan hal-hal yang sudah lumrah dan tak perlu diperbincangkan.

Nasibnya membawa dia selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Dengan sifat “tak mau kalah” membuatnya mempunyai dorongan untuk menunjukkan prestasinya yang dirasa cukup membanggakan orang tuanya. Ia memasuki sekolah yang diidamkannya., sekolah para orang elite dengan fasilitas yang memadai. Razali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan langkah suksesnya yang akan ia gapai di kemudian hari. Sekolah bertaraf Internasional membuatnya bangga akan hal itu. Karena jauh dari rumahnya akhirnya Razali menumpang di rumah pamannya selama dua tahun. Oh…ya sekolahnya membuat percepatan belajar ( kata orang mah namanya akselerasi ) yang tadinya tiga tahun kini menjadi dua tahun. Bukankah itu sebuah nasib mujur. Disela-sela kesehariannya tak terasa sudah menginjak usia satu tahun setengah, sedikit lagi Razali harus keluar dari sekolah ini.

“Razali…luh mau kuliah kemana…?”, tanya temannya asal ceplos membuyarkan lamunannya…
“eh…kagak tau nih gua mah kalo ada duit ya kuliah, kalo kagak ada ya udah, gua gak kuliah paling juga gua kerja”, jawab Razali dengan aksen betawi yang kental.

Di sekolah ini banyak hal yang tidak pernah Razali temui dan tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Mulai dari teman yang berasal dari berbagai daerah sampai fasilitas yang tak pernah ditemui Razali, ada disini. Nasib baik selalu menimpanya namun Razali belum menyadarinya. Razali adalah anak baik yang patuh pada agamanya dan orang tuanya serta mendapat perlakuan baik dari teman-temannya. Ia diperlakukan sebagai anak lainnya, tanpa menghiraukan darimana dan bagaimana keadaan keluarganya. Memang sekarang ini punya teman yang baik hati yang mau menerima teman apa adanya jarang dijumpai. Pasalnya banyak remaja yang gengsi yang hanya mau berteman dengan sederajatnya tanpa mempedulikan rasa tenggang rasa, mencibir kalangan bawah serta selalu mengejeknya. Ingin rasanya memperlihatkan padanya akan kemelut sebenarnya orang-orang yang mereka hina.

Padat sekali aktivitas Razali di sekolah ini. Ya…demi orang tua, kata Razali menyangkal anggapan negatif. Aktivitas yang menyita waktunya ini membuat dia tak sempat lagi memikirkan kemana dan bagaimana kelanjutan studinya.

Dengan dibekali rasa percaya diri, Razali terus merangkak maju meninggalkan ketidaktahuan akan dunia sebenarnya. Dulu ia menganggap dunia segitu-gitu aja. Gak akan ada kemajuan yang berarti. Razali tak merasa harus ambil bagian dari kehidupan ini. Ia rasa sudah cukup dengan hanya menjalaninya. “Jalanin aja gak usah macem-macem deh. Jalanin aja apa yang udah ada, kok idup dibikin susah”, ketus Razali di bibirnya.

Namun kini Razali mulai menyadari akan kepolosannya. Ia seringkali melamun, ternyata memang kita harus ambil bagian dari kehidupan ini, dari zaman ini agar tidak ketinggalan zaman. Baru kali ini ia sadar akan kepolosannya. Namun itu cukup menggembirakan dan mendapat acungan jempol. Razali belum terlambat menjadi insan globalisasi.
Razali di sekolah punya seorang guru yang dianggapnya mampu dijadikan ibu, ibu guru yang dia hormati ketimbang guru lainnya. Namanya Ibu Mala, ia berasal dari Malang, namun nasibnya tak semalang nasib Razali. Dia mengajar pelajaran Kimia, alih-alih dia berbakat, karena kemampuannya berbahasa Jerman. Razali jatuh cinta pada ke-2 pelajaran itu, dia ingin menguasainya. Ibu Mala sering menasehatinya. Masih terngiang di telinganya ketika suatu hari Bu Mala menasehatinya seperti ini :

Walaupun kita dari oarng-orang kalangan rendah, jangan sekali-kali rendahan dan mengangap diri kita rendah. Asam garam yang telah kita alami sebagai seorang kalangan rendah seharusnya membuat kita semakin mantap menapaki masa depan. Kita sudah kenyang makan kesedihan, kedukaan, kelaparan, dan ketidaknyamanan. Bayangkan saja orang-orang elite yang bangkrut mereka lebih mudah untuk menjadi gila ketimbang kita, mereka yang selama ini dibuai oleh kekayaan, pangkat, dan jabatan yang sangat disanjung-sanjungnya.

Itulah nasehat yang diberikan oleh guruku, ibuku di sekolah. “Sekali lagi aku menyesal kenapa dulu aku sesalkan kehidupanku. Toh sekarang aku adalah anak yang selalu mujur. Mungkin aku lebih beruntung daripada teman-temanku yang lainnya yang harus berhenti sekolah dan bekerja dengan keras guna bertahan hidup”, seru Razali dengan Indonesianya yang bagus.

Mulai saat itu ia mantapkan untuk tidak menyesali kehidupan ini dan maju menyongsong kesuksesannya di masa depan. Namun satu hal yang Razali belum biasa melupakannya, yaitu keinginan untuk masuk ke universitas yang bagus, yang biasa dibanggakan.

“Razali…Razali…elu masuk kuliah aja uda untung, kagak usah mikirin yang enggak-enggak”. Nasihat itu meluncur dari kakak Razali, ketika Razali menanyakan keinginannya untuk masuk kuliah di perguruan tinggi yang bagus dan juga elite. Memang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga tidak usah memikirkan universitas bagus, toh semua universitas bagus kok, mungkin cuma imej, wibawa, dan pandangan masyarakat.

Universitas ecek-ecekan, begitulah orang-orang elite menamai universitas yang tidak terkenal, bermutu kurang, dan fasilitas yang kurang. Padahal bagi orang seperti Razali, segini saja sudah cukup.
Memasuki dunia perkuliahan, tak gentar upaya Razali untuk meningkatkan derajat hidupnya. Dunia perkuliahan adalah masanya kebebasan bagi para remaja. Namun kebebasan Razali adalah kebebasan untuk lepas dari lingkar kesengsaraan yang selama ini mengitari hidupnya. “Bebas tetapi terbatas. Ya, terbatas karena gua punya beban berat yang gua emban, yang mesti gua pecahkan. Istilahnya gua ini adalah aset keluarga gua. Gua emang enggak nyalahin mereka, memang keadaannya seperti itu. Bayangin aja, keluarga gua nyari duit buat gua, buat anak dan adek yang dapat mereka banggakan di kemudian hari”.

Sambil kuliah, Razali berjualan koran pada pagi hari. Hitung-hitung nungguin dompet kosong melompong yang selama ini melekat di kantongnya. Saat yang dinantikan oleh para mahasiswa yaitu “hari wisuda”, hari dimana dimulai babak baru penerapan ilmu yang sudah kita dapati sebelumnya. Dengan bekal sarjana Teknik Kimia dan pandai berbahasa Jerman Razali melepas masa kuliahnya. Sehari setelah wisuda, Razali menapaki tanah ibukota yang memang tanah kelahirannya. Yang katanya ibukota itu lebih kejam daripada ibu tiri. Jalan-jalan di Jakarta sering membuat Razali kesasar. Maklumlah walaupun seorang anak Jakarta asli, tetapi wilayahnya sendiri tidak tahu. Razali itu betawi (betah di wilayah) banget.

Sampailah ia pada suatu area kawasan industri, disitu ada perusahaan makanan yang gede banget gedungnya. Mumpung ada lowongan kerja yang membutuhkan teknik kimia, Razali coba-coba untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu. Alhamdulillah, sujud dan rasa syukur yang tiada henti-hentinya ia kumandangkan  seminggu kemudian setelah ia dinyatakan lulus seleksi masuk perusahaan itu. Rasanya seperti mendapatkan buah-buahan runtuh, bukan hanya durian, apel, jeruk, pun ikut-ikutan runtuh.

Setelah satu tahun dia mengabdi disana, dan dengan sifat kerja, dedikasi yang tinggi , dan kemampuan yang terampil membuat Razali dihormati oleh para seniornya. Razali termasuk bagian dari empat karyawan perusahaan itu yang akan diberangkatkan ke Jerman untuk melanjutkan studinya agar dapat lebih dipraktekkan di perusahaan tersebut. Puji syukur beribu-ribu syukur atas karunia yang telah diberikan tuhan padanya.

Menyesallah sudah, mengapa dia dahulu meratapi nasibnya. Ternyata nasibnya selalu mujur. Tuhan memang sayang pada Razali. Dengan bekal ridha dari orang tuanya dan dana yang cukup inilah, yang membuat mantap langkah Razali untuk melancong ke negara teknologi itu. Bekal bahasa yang dimilikinya turut membantunya. Segala keinginannya tercapai dan doa yang selama ini ia panjatkan terkabul juga.

Razali menjadi orang besar di kampungnya. Keluarganya menjadi orang terpandang. Anak seorang kuli bangunan dan penjual nasi uduk pergi ke negara lain guna berbakti pada orang tua dan mencari kehidupan yang lebih baik. Tanpa sadar Razali sudah menjadi bagian dari insan globalisasi. Tak sia-sia ia mematuhi nasihat-nasihat yang selama ini didapatkannya. Kini Razali tinggal bersama kakak dan kedua orang tuanya di rumah gedongan.
“Ich Liebe Mein Eltern”

0

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts