Andai saja bahagia itu tidak bersyarat, maka bunga mawar tidak perlu berduri

Selasa, 31 Juli 2012

[Kapas – kapas putih]


Incheon, bandara tersibuk kedua didunia. Selaksa awan negeri Ginseng pagi itu tampak muram. Geliar bau senyawa Geosmin dan Metil Isoborneol menyemburat dari aktivitas bakteri Streptomyces sp. Bau khas aroma tanah, pertanda hujan telah usai. Diiringi terpaan angin kutub utara minus 3 derajat celcius merasuk sendi, menghampiri dan memberi salam. Pucuk - pucuk daun muda tampak malu untuk keluar, musim semi dimulai. Musim semi yang garib, pikirku.
Tatanan rapi Pinus merkusii Jungh yang sebagian merangas dipinggir jalan menambah suasana eksotik negeri lingkar arktik terserbut. Gumpalan tipis lembut laksana kapas sesekali tersibak tatkala Spermophilus parryii membingkas antara dua tangkai pinus tersebut.
Rentakan kaki dinegeri drama persis diawal bulan Maret, bulan ketiga kalender Gregorian yang bermakna dewa perang romawi membuatku tersadar, Indonesia bagai garis aphelion matahari bagi bumi. Kupasang tali elektronik ditelingaku, mendengarkan lantunan ayat suci alqur'an. Dingin sekali, bergidik lapisan epidermis menciptakan bulatan - bulatan kecil tanda menggigil. Tiga pasang baju kupakai untuk melawan hawa dingin itu.
안녕하세요 (annyeong haseyo)... Itulah luncuran kata pertama dalam bahasa korea ketika menyapa pak tua. Beliau membentangkan sebuah papan nama yang ditulis pada semacam kertas kardus menggunakan spidol merah.
Wawan-ssi ieyo? Indonesia saramieyo. Dengan agak lantang pak tua mengucapkannya, sembari membenarkan papan nama. Ne, naneun wawan imnida, Indonesia saramimnida. Mannaso banggapseumnida. Celetukan spontan. Tidak sia - sia belajar dua bulan di tanah Depok. Ajossi, naneun hanggukmal mot hamnida. Yongoreul halsu isseumnikka? Of course... Just little. Pungkas pak tua.
Huft, syukurlah. Walau bahasa inggrisku pun masih terbata - bata, setidaknya tidak seperti sapi ompong selama perjalanan ke kampus. Perkenalan adalah adaptasi seorang lantaran berjumpa dengan sesama, maka kami pun berkenalan. Pak tua itu adalah orang yang ditugaskan kampus untuk menjemputku dibandara Incheon. namanya lee-ssi, panggil saja ajossi. Beliau menyodorkan roti yang telah dibelinya selama menunggku. Meogo ya!
Beberapa koperku, dibawanya menuju mobil jemputan. Sujud syukur tak lupa kusempatkan sebagai tanda syukur atas segala kenikmatan yang diberikan. Selama perjalanan menuju kampus, terlintas dipikiran inikah Korea Selatan, tanah para artis terlaris yang dikenal dari kalangan borjuis hingga pengemis?
Setitik - titik gerimis sempat menemani perjalanan kami. Nampak terbentang jembatan penghubung antara bandara Incheon dengan daratan utama. Sepanjang mata melihat hanya jembatan dan laut yang ada, selingan bus - bus hanya sebagai kiasan mata. si Ajossi mengatakan, bahwa jembatan itu adalah bukti tingginya teknologi Korea. Sepanjang perjalanan, beliau mengajak berbicara dengan bahasa seadanya.
Melirik kiri kanan, pohon - pohon yang merangas tegar disapu gerimis. Sesekali tumpukan  putih salju kudapati. Lama tertegun dalam perjalanan, inikah yang kucari, akan disinikah aku mencari ilmu berkedok gelar doktor?
Jam menunjukan sekitar pukul 09.00 waktu Korea, gerbang kampus mengepulkan aroma harum, sebab disisi kanan tampak bunga Hibiscus syriacus, bunga khas Korea Selatan yang berwarna putih bermekaran, walaupun masih dini dimusim semi. Inikah kawah candradimuka bagiku? Hanya kepada Allah ta'ala kugantungkan segala suka duka, segala gundah dan amaraha segala keluh kesah.
Layaknya sebuah mimpi, tidak terbayangkan untuk bisa melanjutkan kuliah di negeri orang apalagi jauh sekali dari Indonesia, negeri tercinta!
Hampir mustahil ketika memikirkan untuk melanjutkan kuliah selepas S-1. Alasan klasik yakni keterbatasan dana menjadi penghalang utama untuk terus sekolah. Sehingga sepelas menamatkan sarjana, bekerja adalah pilihan satu - satunya. PUSPIPTEK menjadi ladang rejekiku selama satu setengah tahun, Selama itu pula bekerja menjadi seorang peneliti berstatus honorer. Tidak mengapa, tidak ada yang mencela status pekerjaan tersebut. Halal bagiku dan keluargaku itu sudah cukup.
Sebenarnya, niatan untuk emlanjutkan kuliah sejatinya sudah kuutarakan terutama kepada dua dosen terbaikku, jauh sebelum lulus. Beliau adalah Dr. Sri Handayani dan Aniek S. Handayani, M.Si. Beliau menjadi dosen sekaligus teman curhat "masalah pendidikan".
Awal tahun 2009, menjadi tahun pertama mencoba mencari informasi beasiswa dan mendaftar. Tidak tanggung - tanggung, hampir lebih dari sepuluh engara pernah dicoba untuk mendaftar, seperti: Spanyol, Perancis, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, Rumania, Turki, Finlandia, Swedia, Norwegia, Rusia dan terakhir Korea Selatan. Tak lupa pula beasiswa dalam negeri seperti dari DIKTI dan dari kampus ternama juga telah dicoba.
Gagal adalah hal yang biasa dalam setiap melamar beasiswa. Namun setelah penantian tiga tahun lamanya, akhirnya beasiswa itu datang, tidak tanggung pula beasiswa itu datang; Rusia, Arab Saudi, Finlandia, Swiss, Taiwan dan Korea Selatan ebrkenan berdedia memberikan beasiswa kepadaku. Namun informasi pengumuman lolos dari Korea Selatan lebih dahulu datangnya sehingga kuputuskan untuk hijrah ke Korea Selatan untuk melanjutkan studi. 
Tidak muluk - muluk, cukup lolos S-2 sudah sangat bersyukur. Namun tidak pernah berhasil, selalu gagal, rupanya Allah ta'ala mempunyai rencana lain. Dia malah menakdirkanku untuk melanjutkan sekolah sampai S-3. Hal yang sama sekali tidak pernah terbayangkan.
Terlihat jalan menuju beasiswa mudah apabila dilihat orang lain. Namun tidak bagiku, seluruh beasiswa yang kudapatkan semenjak dari MTsN hingga sekarang selalu disertai dengan tangis, peluh, letih, sakit, kecewa, kesal dan ragu yang selalu kurasakan.
Kini, aku sedang menapaki masa depan disini, di Korea selatan ini. Berjuang untuk masa depan yang lebih baik.


Suatu hari seorang guru bertanya kepada murid kesayangannya.

Guru    : Nak, menurutmu apa yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang murid?

Murid   : Ilmu pengetahuan

Guru    : Bukan itu...

Murid   : Pencapaian

Guru    : Itu juga bukan, Nak.

Murid   : Cinta

Guru    : Bukan itu, sayang

Guru    : Ilmu pengetahuan, pencapaian dan cinta harus dimiliki oleh seorang murid, tetapi bukan itu yang paling penting.

Murid   : Lantas, apakah itu?

Guru    : Menahan rasa sakit


-anonim-
0

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts