Incheon, bandara tersibuk kedua didunia. Selaksa awan negeri
Ginseng pagi itu tampak muram. Geliar bau senyawa Geosmin dan Metil
Isoborneol menyemburat dari
aktivitas bakteri Streptomyces
sp. Bau khas aroma tanah, pertanda hujan telah usai. Diiringi terpaan angin
kutub utara minus 3 derajat celcius merasuk sendi, menghampiri dan memberi
salam. Pucuk - pucuk daun muda tampak malu untuk keluar, musim semi dimulai.
Musim semi yang garib, pikirku.
Tatanan rapi Pinus merkusii Jungh yang sebagian merangas dipinggir jalan
menambah suasana eksotik negeri lingkar arktik terserbut. Gumpalan tipis lembut
laksana kapas sesekali tersibak tatkala Spermophilus
parryii membingkas antara dua
tangkai pinus tersebut.
Rentakan kaki dinegeri drama persis
diawal bulan Maret, bulan ketiga kalender Gregorian yang bermakna dewa perang
romawi membuatku tersadar, Indonesia bagai garis aphelion matahari bagi bumi.
Kupasang tali elektronik ditelingaku, mendengarkan lantunan ayat suci alqur'an.
Dingin sekali, bergidik lapisan epidermis menciptakan bulatan - bulatan kecil
tanda menggigil. Tiga pasang baju kupakai untuk melawan hawa dingin itu.
안녕하세요 (annyeong
haseyo)... Itulah luncuran kata pertama dalam bahasa korea ketika menyapa pak
tua. Beliau membentangkan sebuah papan nama yang ditulis pada semacam kertas
kardus menggunakan spidol merah.
Wawan-ssi ieyo? Indonesia saramieyo. Dengan agak
lantang pak tua mengucapkannya, sembari membenarkan papan nama. Ne, naneun wawan imnida, Indonesia
saramimnida. Mannaso banggapseumnida. Celetukan spontan. Tidak sia - sia
belajar dua bulan di tanah Depok. Ajossi,
naneun hanggukmal mot hamnida. Yongoreul halsu isseumnikka? Of course... Just little. Pungkas
pak tua.
Huft, syukurlah. Walau bahasa inggrisku pun masih terbata - bata,
setidaknya tidak seperti sapi ompong selama perjalanan ke kampus. Perkenalan
adalah adaptasi seorang lantaran berjumpa dengan sesama, maka kami pun
berkenalan. Pak tua itu adalah orang yang ditugaskan kampus untuk menjemputku
dibandara Incheon. namanya lee-ssi, panggil saja ajossi. Beliau menyodorkan
roti yang telah dibelinya selama menunggku. Meogo
ya!
Beberapa koperku, dibawanya menuju mobil jemputan. Sujud syukur
tak lupa kusempatkan sebagai tanda syukur atas segala kenikmatan yang
diberikan. Selama perjalanan menuju kampus, terlintas dipikiran inikah Korea
Selatan, tanah para artis terlaris yang dikenal dari kalangan borjuis hingga
pengemis?
Setitik - titik gerimis sempat menemani perjalanan kami. Nampak
terbentang jembatan penghubung antara bandara Incheon dengan daratan utama.
Sepanjang mata melihat hanya jembatan dan laut yang ada, selingan bus - bus
hanya sebagai kiasan mata. si Ajossi mengatakan, bahwa jembatan itu adalah
bukti tingginya teknologi Korea. Sepanjang perjalanan, beliau mengajak
berbicara dengan bahasa seadanya.
Melirik kiri kanan, pohon - pohon yang merangas tegar disapu
gerimis. Sesekali tumpukan putih salju kudapati. Lama tertegun dalam
perjalanan, inikah yang kucari, akan disinikah aku mencari ilmu berkedok gelar
doktor?
Jam menunjukan sekitar pukul 09.00 waktu Korea, gerbang kampus
mengepulkan aroma harum, sebab disisi kanan tampak bunga Hibiscus syriacus,
bunga khas Korea Selatan yang berwarna putih bermekaran, walaupun masih dini
dimusim semi. Inikah kawah candradimuka bagiku? Hanya kepada Allah ta'ala
kugantungkan segala suka duka, segala gundah dan amaraha segala keluh kesah.
Layaknya sebuah mimpi, tidak terbayangkan untuk bisa melanjutkan
kuliah di negeri orang apalagi jauh sekali dari Indonesia, negeri tercinta!
Hampir mustahil ketika memikirkan untuk melanjutkan kuliah selepas
S-1. Alasan klasik yakni keterbatasan dana menjadi penghalang utama untuk terus
sekolah. Sehingga sepelas menamatkan sarjana, bekerja adalah pilihan satu -
satunya. PUSPIPTEK menjadi ladang rejekiku selama satu setengah tahun, Selama
itu pula bekerja menjadi seorang peneliti berstatus honorer. Tidak mengapa,
tidak ada yang mencela status pekerjaan tersebut. Halal bagiku dan keluargaku
itu sudah cukup.
Sebenarnya, niatan untuk emlanjutkan kuliah sejatinya sudah
kuutarakan terutama kepada dua dosen terbaikku, jauh sebelum lulus. Beliau
adalah Dr. Sri Handayani dan Aniek S. Handayani, M.Si. Beliau menjadi dosen
sekaligus teman curhat "masalah pendidikan".
Awal tahun 2009, menjadi tahun pertama mencoba mencari informasi
beasiswa dan mendaftar. Tidak tanggung - tanggung, hampir lebih dari sepuluh
engara pernah dicoba untuk mendaftar, seperti: Spanyol, Perancis, Swiss,
Jerman, Belanda, Belgia, Rumania, Turki, Finlandia, Swedia, Norwegia, Rusia dan
terakhir Korea Selatan. Tak lupa pula beasiswa dalam negeri seperti dari DIKTI
dan dari kampus ternama juga telah dicoba.
Gagal adalah hal yang biasa dalam setiap melamar beasiswa. Namun
setelah penantian tiga tahun lamanya, akhirnya beasiswa itu datang, tidak
tanggung pula beasiswa itu datang; Rusia, Arab Saudi, Finlandia, Swiss, Taiwan
dan Korea Selatan ebrkenan berdedia memberikan beasiswa kepadaku. Namun
informasi pengumuman lolos dari Korea Selatan lebih dahulu datangnya sehingga
kuputuskan untuk hijrah ke Korea Selatan untuk melanjutkan studi.
Terlihat jalan menuju beasiswa mudah apabila dilihat orang lain.
Namun tidak bagiku, seluruh beasiswa yang kudapatkan semenjak dari MTsN hingga
sekarang selalu disertai dengan tangis, peluh, letih, sakit, kecewa, kesal dan
ragu yang selalu kurasakan.
Kini, aku sedang menapaki masa depan disini, di Korea selatan ini.
Berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
Suatu hari seorang guru bertanya kepada murid kesayangannya.
Guru : Nak, menurutmu apa yang paling penting yang
harus dimiliki oleh seorang murid?
Murid : Ilmu pengetahuan
Guru : Bukan itu...
Murid : Pencapaian
Guru : Itu juga bukan, Nak.
Murid : Cinta
Guru : Bukan itu, sayang
Guru : Ilmu pengetahuan, pencapaian dan cinta harus
dimiliki oleh seorang murid, tetapi bukan itu yang paling penting.
Murid : Lantas, apakah itu?
Guru : Menahan rasa sakit
-anonim-
0 comments:
Posting Komentar