Andai saja bahagia itu tidak bersyarat, maka bunga mawar tidak perlu berduri

Kamis, 11 Oktober 2012

Ayah, jumpalah kita walau hanya dalam mimpi



Sejak aku memasuki madrasah ibtidaiyah atau paling tidak ketika aku mulai mempelajari dan mengenal agamaku sendiri, aku sangat ingat apa yang diajarkan oleh guru agamaku, sebuah nasihat yang penting yang terus tertanam dibenakku pun hingga kini.  

“Surga itu dibawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan.” (Silsilah al-hâdîts adh-Dha’îfah, no. 593)

Walau hadits itu dhoif (palsu/sangat tidak kuat sanadnya) tapi setidaknya itulah yang memotivasiku untuk terus berkarya untuk ibuku, dahulu kini dan nanti.
Begitupun dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu ‘anh berkata:
Seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya:
Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik - baiknya?
Rasulullah menjawab: Ibumu
Kemudian dia bertanya lagi: Siapa lagi?
Ibumu, pungkas Rasulullah.
Kemudian dia bertanya kembali: Lantas, siapa lagi?
Rasulullah menjawab: Ibumu.
Dan dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi ya Rasulullah.
Rasulullah menjawab: Ayahmu.

Banyak dalam terjemahan alqur’an kata “walidain” itu diterjemahkan sebagai ibubapakmu. Ibu dulu baru kemudian bapak. Aku pun berkesimpulan orang yang harus kuhormati terlebih dahulu adalah ibuku.
Pun setelah aku mengenal ilmu lainnya, aku juga mengenal beberapa kata yang mengandung kata ibu.
Dalam Geografi, aku mengenal ibukota
Dalam Kimia, aku mengenal struktur ibu.
Dalam PPKN, aku mengenal ibu pertiwi
Dalam Biologi, aku mengenal ibu jari.
Banyak hal yang mensugestiku, untuk ada dalam pikiranku: Ibu, ibu, Ibu dan Ibu....

Bagaimana dengan sosok ayah???

Lantas, bagaimana sosok ayah yang belum kukenal banyak, kupastikan aku memang jarang bertemu ayah dibandingkan intensitasku bertemu dengan ibu, lantaran ibuku ada dirumah, sedangkan ayahku bekerja diluar rumah dan pulang ketika kami telah sama – sama letih untuk berbicara satu sama lainnya.
Aku memang sejatinya belum terlalu mengenal ayahku seperti apa. Haruskah aku belajar 144 SKS atau sampai harus menempuh tingkat doktorkah untuk mengenal ayahku?

Ini, mungkin kesimpulanku tentang ayahku…

Mungkin ibu lebih kerap menelepon untuk menanyakan keadaanku setiap hari..Tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?
Semasa kecil, ibukulah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tahu  bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidurku.
Saat aku sakit demam, ayah membentakku "sudah diberitahu! jangan minum es!". Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu. Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku...
Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata "tidak boleh!".. Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku? Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga.
Saatku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya. Maka kadang aku melanggar kepercayaannya... Maka ayahlah yang setia menunggu aku  diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, dimana dan sedang apa aku diluar sana…
Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayahlah yang berkata ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama..
Di saat aku merengek memerlukan ini - itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya.. dan cuma berpikir, kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas - pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.
Saat aku berjaya.. Ayahlah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukmu.. Ayahlah yang mengabari sanak saudara, anakku sukses, aku bangga menjadi ayahnya. Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itupun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.. Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan doanya ibu, cuma bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya.
Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati-hati mengizinkannya..
Dan akhirnya.. Saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku ..ayah pun tersenyum bahagia..
Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis?
Ayah menangis karena ayah sangat bahagia.. Dan beliau pun berdoa "Ya Alloh, tugasku telah selesai dengan baik.. Bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya"
Tahukah kalian, bahwa ayahlah yang pertama kali mempunyai rambut uban.

Kuakhiri tulisanku dengan sebuah bait lagu:

Dimana, akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku, selalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi

Lihatlah, hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi

Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi
Dengan airmata di pipiku
Ayah, dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau, hanya dalam mimpi.

Dalam kesendirianku, untuk ayahku di Pamulang sana…
@bie, Korea Selatan.

0

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts