Peminat
beasiswa ke Korea Selatan (khususnya) cukup meningkat. Setelah membaca tips berburu beasiswa di Korea, hendaknya
dilanjutkan dengan membaca artikel ini.
Akhir-akhir
ini banyak yang menanyakan perihal kesempatan mendapatkan beasiswa ke Korea,
bahkan satu dua orang menambahkan kata-kata “saya akan berusaha
sungguh-sungguh” seperti yang biasa kita dapati di K-drama. Banyak lagi yang
“meng-upgrade secara paksa” profil Facebooknya, ada yang menulis
kuliah di Dongguk University padahal masih SMA, ada yang menulis kuliah di
Seoul National University tapi tempat tinggalnya di Daegu (“Sejak kapan SNU
buka cabang di Daegu?”, kata Presiden Perpika),
dan bermacam-macam lainnya. Dari situ saya berpikir, ada yang tidak benar
dengan ini semua.
Kita
semua tahu bahwa Indonesia sedang dilanda Korean Wave. Tidak
bermaksud menyalahkan siapapun yang terkena demam tersebut, namun saya sebagai
orang-yang-dulunya-tidak-ngefans-sama-bintang-Korea-tapi-akhirnya-malah-sekolah-disini
ingin membagi sedikit cerita agar fantasi yang berlebihan tentang Korea tidak
mengendalikan keinginan sesaat itu. Janganlah bayangan tentang Korea itulah
yang menjadi dasar apply beasiswa, karena kenyataan di
“lapangan” tidak semanis itu. Daripada sudah terlanjur diterima dan sampai sini
tapi malah menyesal dengan beratnya beban yang ditanggung.
Kebanyakan
cerita K-drama adalah percintaan yang bisa membuat penontonnya melayang,
terutama bagi kaum hawa. Sehingga mungkin banyak yang berpikir kuliah di Korea
pasti enak, ketemu yang cakep-cakep ataupun cantik-cantik kayak di K-drama.
Please, stop that dream. Kenapa? Faktanya, pelajar di Korea walaupun dari luar
sangat santai seperti yang terlihat di K-drama, namun usaha mereka untuk
belajarsangat besar. Bagian belajar keras itulah yang tidak ditampilkan di
K-drama. Padahal jika hal itu ditunjukkan, efeknya juga akan bagus bagi
penonton. Tidak aneh melihat mereka seharian membaca buku di perpustakaan
ataupun membawa puluhan buku-buku tebal saat pulang kuliah. Di subway maupun
bis pun banyak diantara mereka yang membaca buku. Jadi tidak heran kalau
kacamata yang mereka pakai lensanya cukup tebal (banyak juga dari mereka yang
sebenarnya pakai kacamata tapi diganti softlens). Kalau kita cuma modal ingin
senang-senang, ya sudah kena “libas” oleh mereka.
Mengambil
jenjang Master maupun Doctoral berarti sama saja artinya dengan bekerja untuk
Profesor. Dan profesor (yang juga manusia itu) punya watak dan keinginan yang
berbeda-beda. Banyak dari teman penulis yang bekerja untuk profesor yang
memiliki keinginan dan ekspektasi dengan standar yang tinggi; misal: satu tahun
minimal sang mahasiswa harus bisa meloloskan satu paper internasional,
penerapan jam lab 09.00~21.00 setiap hari selama 6 hari (hanya libur hari
Minggu), dan banyak lainnya. Bahkan teman Korea saya pernah bilang, “Here,
Professor is considered as a king. Whatever he wants, we have to fulfill it.
Even the student usually does the-office-boy thing or bringing professor’s
stuff.” So, persiapkan diri untuk hal yang tak terduga. Kalau di rumah aja
minum susu masih minta dibikinin mamanya, siap-siap kecewa deh di
Korea. Yang terbiasa naik motor atau mobil di Indonesia, harus beradaptasi
dengan jalan kaki selama di Korea. Memang sedikit lebih menyenangkan karena
situasi sangat mendukung; trotoar yang luas, minim polutan, udara sejuk, pun
banyaknya pejalan kaki lain tua dan muda. Bisa juga naik sepeda, tapi tidak
bisa dilakukan di musim gugur maupun musim dingin karena anginnya cukup dingin.
Salah
satu kendala terbesar adalah masalah bahasa, perlu diketahui bahwa mayoritas
orang Korea tidak bisa berbahasa Inggris. Sedangkan kita tidak bisa
mengandalkan berbicara menggunakan bahasa seperti yang digunakan di K-drama
jika tidak ingin dianggap tidak sopan. Untuk bahasa yang digunakan di kelas
juga tidak selalu Bahasa Inggris, banyak teman yang terpaksa mengambil kelas
yang pengantarnya berbahasa Korea karena sang dosen tidak mau pakai Bahasa
Inggris. Kalaupun kita sudah pernah mengambil kursus Bahasa Korea, tidak ada
jaminan bisa “survive” di kelas karena banyak sekali kata-kata yang tidak kita
mengerti. Misal kita di jurusan Teknik Sipil tentu familiar dengan kata-kata
optimasi, bekisting, procurement, dll; namun apakah kita tahu padanan-nya dalam
Bahasa Korea?
Namun
banyak juga kelebihan yang kita dapat selama menimba ilmu di Korea, beberapa
diantaranya:
§ Sangat
mudah mengakses jurnal internasional karena setiap universitas pasti sudah
berlangganan jurnal internasional.
§ Fasilitas
lab yang memadai untuk bekerja secara optimal. Biasanya hampir semua “penghuni”
lab pasti memakai headset agar tidak mengganggu dan tidak
terganggu oleh lab member lainnya.
§ Iklim
akademis yang memacu semangat belajar. Kita tentu malu pada diri sendiri jika
melihat semangat belajar para pelajar Korea. Untuk ujian dan tugas pun mereka
mengerjakannya sendiri (walaupun belajarnya bareng). Jadi kalau masih hobi
nyontek, segera tinggalkan kebiasaan itu dan mulai belajar giat. Jika mereka
ada waktu, kita bisa meminta bantuan mereka untuk mengajari kita beberapa hal
yang tidak kita mengerti, mereka tidak akan keberatan membantu selama tidak
sibuk.
Belajar
kebudayaan dan kebiasaan baru yang tentunya jauh berbeda dibanding di
Indonesia. Pun juga belajar mandiri sehingga dapat mengambil hikmah bahwa tidak
ada hal yang bisa dicapai dengan cara instan.
Setiap
yang kita lakukan, kembali lagi akan mengacu pada niat. Semoga fantasi tentang
Korea tidak menjadi dasar apply beasiswa, masih banyak hal-hal baik yang bisa
kita jadikan niat untuk menuntut ilmu di Korea. Semangat~~ 화이팅!
sumber
: http://beasiswa.perpika.org/2011/12/kuliah-di-korea-bukan-sekedar-ikut-tren-korean-wave/
0 comments:
Posting Komentar