Andai saja bahagia itu tidak bersyarat, maka bunga mawar tidak perlu berduri

Senin, 20 Oktober 2014

[Menggapai Derita]


#ide dari cerpen ini, dari kondisi teman - teman pekerja di korea selatan.
Selamat membaca…
Masih pemula, jadi ceritanya ya gitu deh. hahaha
___________________________________________________
Gompraaaang…
Bunyi piring dari rak yang dibeli diawal pernikahan itu melayang jatuh didekat kompor gas disisi kanan pintu dapur, tepat diawal bulan Januari.
Keluar kau! Suara itu memekikan telinga Tiyah.
Keluar kau dari rumah ini, ini rumahku, hasil jerih payahku, tak berhak lagi kau ada disini.
Keluarrrrrrr! Piring bermotif bunga – bunga yang kedua itu pun melayang dan menabrak lemari makanan, pecah berkeping – keping menyentuh lantai keramik yang berwarna cokelat.
Tiyah, tampak meringis kesakitan, kakinya menyentuh serpihan beling, berdarah di ujung ibu jari kakinya namun dibiarkan begitu saja, tampak setitik – titik darah menetes, sedangkan Kus hanya tergagap – gagap, menceracau, sembari mengepalkan tangannya, agak beringas.
Tiyah keluar dari dapur itu setelah pertengkaran yang dimulai 1 jam 15 menit yang lalu, cap telapak tangan dipipi Tiyah dari Kus cukup membuat Tiyah sadar bahwa Kus kini bukan lagi Kus yang Tiyah kenal.
Dik! Mas akan pergi jauh minggu depan, mas dapat orderan menjadi mandor kuli bangunan di pulau Sumatera, ada pembangunan Mall di daerah Bengkulu. Kata Kus memulai percakapan di suatu pagi tepat diawal tahun kepada Tiyah diteras depan rumah mereka, ketika itu Tiyah menyugukan singkong goreng dan teh pahit kesukaan Kus.
“Berapa lama mas?” Tanya Tiyah langsung ketika Kus selesai memulai percakapan itu.
“Satu setengah tahun dik! lumayan uangnya buat anak kita yang sedikit lagi masuk SD. Jodi kan sekarang berumur 6 tahun kurang, kita sudah harus memikirkan pendidikannya”.
“1 ½ tahun! Bengkulu!” pekik Tiyah
“Apa tidak terlalu jauh mas!” Ketus Tiyah yang merasa akan kesepian selama 1 ½ tahun bila hal itu terjadi. Membayangkan tidak ada suami disisi Tiyah membuat dahi Tiyah mengerut lipat tiga. Membayangkan saja Tiyah sudah ngeri, apalagi diburu dengan waktu yang seminggu lagi suaminya akan pergi jauh dan tentunya lama.
“Tapi harus bagaimana lagi dik, mas sudah teken kontrak disana, karena sekarang jadi mandor kuli bangunan susah, banyak pesaingnya. Mas diberi kepercayaan disana, ada Diman juga, tetangga kita yang ikut ko, memang sih dia masih bujangan jadi tidak ada tanggungan keluarga, tapi katanya orangtuanya juga sempat khawatir namun akhirnya diijinkan juga. Jawab Kus menimpali Tiyah dengan mimik datar.
Lantas, gimana dik! Mas sudah kepalang tanggung, buat Jodi anak kita dan tentunya agar dapur tetap ngebul asapnya”. Tukas Kus, menjawab lamunan sesaat Tiyah.
Waktu pun berlalu, Tiyah memang tidak memberi jawaban yang pasti, menggantung tepatnya. Namun Kus tetap melanjutkan mempersiapkan segala keperluan mulai dari mengepak 3 baju baru dan 2 celana yang ada dilemari, sajadah dan sebagainya dan tak lupa pula foto keluarga, Kus, Tiyah dan anak mereka, Jodi.
Tepat satu minggu pun berlalu…dan Tiyah melepas Kus dengan deraian airmata, sedangkan Jodi tidak ikut karena takut sakit ditinggal ayahnya. Hanya Tiyah dan keluarga Diman.
Sehari setelah ditinggal Kus, Tiyah seperti orang linglung, batinnya tak mampu dia kuasai, raganya tak mampu dia kendalikan. Tiyah tampak seperti orang yang kehilangan arah, walau Tiyah tahu bahwa Kus pergi bukan untuk bersenang – senang tapi sedang mencari nafkah buat mereka.
Rutinitas seperti biasa terus dilakukan Tiyah, sedangkan anaknya, Jodi agak rewel diawal – awal, selalu bertanya kemana bapaknya.
“Bu, Bapak mana!” Tanya Jodi polos, Jodi anak laki satu – satunya buah cinta Tiyah dan Kus yang belum genap 6 tahun.
“Minggu lalu Bapak belikan Jodi es krim, motor – motoran sama baju Batman!”. “Bapak kemana bu, kangen nih, ade!” Seru Jodi sambil memainkan motor – motorannya maju mundur.
“Bapakmu, sedang kerja!Terdengar agak ketus Tiyah menjawab pertanyaan anaknya.
Demikian, Jodi setiap hari menanyakan perihal bapaknya.
Walaupun Jodi bisa dibohongi, tetapi ternyata batin Tiyah luntur oleh keadaan kesepiannya.
“Permisi bu, Mau ngecek meteran KWH”. Seseorang laki – laki berseragam dengan taksiran umur 32 tahun membuyarkan lamunan Tiyah disuatu sore, sekitar jam 4.
Oh, iya mas, silakan…
Selang 5 menit kemudian, si mas – mas berseragam itu pun pamit, tugasnya sudah selesai karena hanya mengecek meteran KWH dan mencatatnya. Tiyah pun meneruskan lamunannya sambil memandangi si mas – mas berseragam itu hilang menjauh dari rumahnya, tapi Tiyah sempat menghapalkan wajah dari sosok laki – laki itu.
Tiga minggu setelah kepergian Kus, Tiyah tampak sudah mulai terbiasa melakukan apa saja tanpa kehadiran Kus, membetulkan dan mengganti lampu WC yang sudah mati, menyiram sayur – sayuran dengan air sungai yang diambilnya dari kali kecil yang melintasi tepat disamping warung tetangganya.
Kus menepati janjinya, tepat satu bulan, Kus mentranfer uang ke rekening Tiyah yang memang sengaja dibuatkan Kus untuk Tiyah untuk keperluan sehari – hari dan meminta Tiyah untuk membagi rata keperluan pribadi, rumah tangga dan ibu serta mertua Kus. Hasilnya juga cukup lumayan bahkan bisa dikatakan diatas rata – rata penghasilan Kus selama ini sebagai mandor kuli bangunan di kota tempatnya keluarga mereka berada.
Tibalah Tiyah membayar tagihan listrik ke PLN terdekat, pagi – pagi setelah mengantarkan Jodi ke tetangganya, karena jarak terdekat PLN adalah 2 jam naik bus dan Jodi tidak ikut, karena selalu muntah kalau naik bus.
Tiba – tiba Tiyah tanpa sengaja bertubrukan dengan seorang lelaki yang berlawanan arah sehingga tubuh Tiyah agak limbung beberapa saat. “Maaf bu,,, maaf bu, saya buru – buru”
Sambil membetulkan letak kacamata, si laki – laki itu berkata: Eh ibu.... yang dulu melamun itu ya, saat saya mengecek KWH dirumah ibu, kebetulan saya masih ingat karena waktu itu rumah ibu paling terakhir saya cek dan waktu itu ibu terlihat tampak murung. Saya mau menyapa juga tak berani” Basa – basi yang dilakukan lelaki itu biar tidak dikira kurang ajar dan ternyata tebakannya benar, si ibu tersebut mempunyai satu frekuensi yang sama.
Ohhh, mas yang datang sore itu ya, mengecek meteran KWH? Tanya Tiyah setengah tahu dan dan sedikit- sedikit memerhatikan jenggot lelaki itu, tampak ganteng.
Ya, betul bu. Jawab lelaki tersebut.
“Ya sudah ibu bayarkan saja dulu tagihan listriknya. Saya juga nanti kesini lagi, saya mau mengantarkan surat ke pelanggan dekat sini”. Sela lelaki berseragam PLN itu kepada Tiyah, karena buru - buru pergi.
Tiyah pun menuju loket pembayaran dan mengantri…
Kus kerja sebagai mandor kuli bangunan, dia tampak cekatan mengatur segalanya karena semenjak remaja Kus sudah menjadi kuli bangunan dan dia termasuk kuli bangunan yang terampil, cekatan dan disiplin. Atas inisiatifnya dia membentuk semacam kelompok kecil menaungi beberapa kuli bangunan dan mengkoordinirnya, maka sekarang dia menjadi mandor. Cukup disegani karena Kus bersikap adil kepada anak buahnya walaupun anak buahnya lebih tua darinya. Kus kini beranjak 33 tahun, setahun lebih tua dari lelaki PLN itu.
Sedang asyiknya menunggu giliran pembayaran, Tiyah disapa oleh lelaki berseragam PLN tadi. “Maaf ya bu, tadi saya menabrak ibu, lelaki itu memulai percakapannya.
Saya Anto bu, baru 6 bulan kerja disini bantu – bantu pengecekan ke rumah – rumah, dan kalau sedang tidak mengecek saya jadi seksi sibuk disini. Hahaha, Anto berbasa – basi sambil tertawa sehingga gusi merah segarnya tampak kelihatan.
“Jangan panggil saya ibu ah, panggil mbak saja”.
“Kalau diingat – ingat... awal kita bertemu, waktu itu saya sedang melamun memikirkan suami saya yang sedang merantau ke pulau seberang, kebetulan ada masnya yang membuyarkan lamunan saya”. Tiyah menimpali pembicaraan Anto sembari menunggu giliran untuk membayar tahigan listrik, ketika itu Tiyah duduk dipinggir pada barisan keempat.
Oh, jadi suami mbak sedang kerja di pulau seberang, pulau mana mbak? Bali, Kalimantan, atau Sumatera…
“Yang terakhir mas!” jawab Tiyah yang tidak mau menyebutkan nama pulaunya karena kadung rindu kepada Kus.
Oh… Kalau saya…
“Nomor urut 26… !” Suara petugas loket pembayaran terdengar memotong pembicaraan mereka.
“Oh maaf mas, giliran saya membayar. Sebentar saya membayar tagihan iuran listrik dulu, nanti kita teruskan ngobrolnya. Maaf ya mas!”.
“Tidak apa – apa mbak”. Anto pun pergi dan kembali beraktivitas.
Di kantor PLN itu, Tiyah dan Anto tidak lagi meneruskan pembicaraan yang sempat terpotong itu karena Tiyah dan Anto tidak bertemu, Anto ditugasi atasannya untuk membantu bagian gudang sedangkan Tiyah selepas membayar langsung pulang ke rumah.
Jodi tampak senang, karena sepulang dari rumah Tiyah membelikan buah melon kesukaan Jodi ketika itu Tiyah sengaja mampir ke pasar dan mereka pun makan bersama dirumah tetangganya.
Namun ketika hendak pulang dari rumah tetangganya, Tiyah berpapasan dengan Anto. Ternyata Anto mengontrak sebuah kontrakan di dekat rumah Tiyah, baru seminggu Anto pindah dari kontrakan yang lama. “Lho mas tinggal disini,,,,” Tiyah mengawali pembicaraan tersebut. “Iya mbak, saya pindah dekat sini, kontrakan lama, sudah habis masa kontraknya dan saya ingin mencari kontrakan baru. Kebetulan sekarang lagi istirahat dan saya mau masak di kontrakan saya. Jawab Anto.
“Lho memang istrinya kemana mas, ko laki – laki masak sih? Bukannya tinggal makan?” Tanya Tiyah serius.
Hmmm, istri saya sudah meninggal 4 bulan yang lalu ketika melahirkan anak kedua kami, anak pertama saya, saya titipkan ke mertua, katanya mertua sih, sebagai pengganti sosok istri.
“Oalah, maaf ya mas, saya tidak bermaksud mengungkit – ungkit”. Jawab Tiyah setengah iba.
“Kalau mau makan, ke rumah saja mas, kebetulan saya sebelum ke PLN masak, cuma balado ati ayam sama sayur asem, ya itung – itung menyambut tetangga baru”.
“Wah boleh tuh mbak, kebetulan saya juga dalam buru – buru, tadi sih cuma mau masak mie instan doang”.
Maka, Jodi, Tiyah dan Anto pun ke rumah.
Hari pun terulang secara sama. Tiyah bertemu dengan Anto hampir setiap hari. Tak dinyana, dari pertemuan – pertemuan itu lama – kelamaan muncul noktah – noktah kasih sayang diantara keduanya, ketika itu pula setan menyulam jaring – jaring kemaksiatan. Kebetulan Anto adalah duda baru, sedangkan Tiyah adalah seorang istri yang ditinggal suaminya pergi.
Kus yang setiap bulan mengirimi Tiyah uang, lewat buku tabungan yang dibukanya diawal keberangkatan Kus tidak tahu bahwa uang yang kiriminya itu, Tiyah gunakan untuk menarik perhatian Anto sedangkan Anto pun terlena karena kehadiran Tiyah yang sedikit mirip dengan sosok istrinya yang telah tiada.
Anto semakin sering ke rumah Tiyah, Tiyah terperangkap jaring – jaring setan. Tiyah selingkuh dibalik kepergian suaminya merantau, Tiyah tak kuasa menahan kesendirian, iman Tiyah goyah.
Gelas yang dipegang Kus tiba – tiba jatuh, sesudah mengucap istighfar, Kus teringat sudah setahun dia tidak bertemu Tiyah dan Jodi anak laki – lakinya, dia yakin anak laki – lakinya itu sekarang sudah mulai masuk sekolah. Tak terasa airmata Kus mengalir setitik – titik, membayangkan Jodi menyalami tangan Kus untuk pamit pergi ke sekolah. Tubuh Kus yang kekar tidak menyurutkan airmatanya untuk jatuh.
Kus minta cuti 2 minggu kepada atasannya, dengan alasan dia ingin pulang kampung, atasannya pun mengijinkannya, sebenarnya Kus bisa mengambil cuti kapan saja, tapi dia pikir lebih baik uangnya disimpan dan dikirim ke rumah daripada harus berlibur atau lain sebagainya, namun kali ini Kus sudah tak bisa menahan kerinduan kepada istrinya dan utamanya kepada anak laki satu – satunya.
Kus pulang tanpa sepengetahuan Tiyah karena ingin membuat kejutan, kejutan seorang lelaki gagah yang bertanggungjawab untuk menemui permaisuri tercinta. Kus gemetar ketika sampai di terminal kampungnya, Kus ijin 2 minggu untuk menemui mantan pacarnya yang kini sudah menjadi ibu buat anaknya. Kus berjalan dari terminal ke rumah...
Dari kejauhan, tampak Jodi sedang asyik bermain dipelataran rumah tetangga bersama Uno, anak tetangga Kus yang jarak rumahnya berbeda 3 rumah dari rumah Kus.
“Dede,,,” Dari kejauhan Kus menyapa anak semata wayangnya.
“Dedeeee....  Ini bapak, nak. Bapaak kangennnn sama dede,,, bapak pulang nak!” Maka berlarianlah Jodi memeluk bapaknya.
Sesekali Kus mengusap airmata tanda senang dan bahagia. Kus memeluk erat Jodi.
Ini bagikan ke Uno, oleh – oleh dari Bengkulu, cinderamata berbentuk bunga Rafflesia Arnoldi yang Kus sengaja belikan buat orang – orang rumah. Tak lupa pula kus membeli donat dan sekantong es krim diperjalanan. Baju untuk Jodi juga telah dipersiapkan.
Bapak kangen kalian, nak! Bapak cuti dari kerja setelah setahun tidak bertemu dengan kalian, bapak kangen… seru seorang bapak kepada anaknya, Jodi... sambil sesegukan sekali – kali. Kamu sudah besar, Jodi…” Pekik Kus saking gembiranya bertemu dengan anak lelakinya itu.
Mari pulang nak, bapak juga kangen ibumu, Jodi yang polos mengikuti perkataan bapaknya. Jodi juga sesegukan menahan haru akhirnya bisa bertemu dengan bapaknya dan hampir lupa dia juga mau mengenalkan paman yang selama ini tinggal dirumah mereka, tapi kala itu Jodi jadi lupa ketika bapaknya memberikan baju Spiderman favoritnya Jodi, selain Batman.
Pintu tidak dikunci agak terbuka dari dalam dan waktu menunjukan kira – kira pukul 2 siang, seorang laki – laki sedang menonton televisi dengan volume suara agak keras di ruang tamu sambil menikmati semilir angin dari kipas angin, hawa diluar rumah sedang panas – panasnya, 34 derajat celcius. Kus tergagap bukan kepalang, karena sosok laki – laki itu tidak dia kenal dan sedang bertelanjang dada sambil sesekali menguap. Bapak, itu paman yang menginap hampir setiap hari dirumah, paman ini baik lho pak,,, setiap hari memberikan Jodi es krim dan menyuruh Jodi main kerumah Uno. Percakapan itu membuat Anto kaget dan tercengang. Dari dapur, tampak Tiyah membawa segelas es buah yang dibelinya diwarung tetangga.
“Mas, ini mas esnya!”, celoteh Tiyah centil.
Pecah, gelas es itu seketika jatuh ke lantai, tatkala Tiyah melihat sosok yang dikenalnya berada di tepi pintu bermotif ukiran jawa. Tubuh Tiyah lemas seketika, gemetar, gigi – giginya gemeritik tak bersuara, sekat rongga suaranya tertahan oleh sesosok laki – laki yang setahun meninggalkannya. Buru – buru Anto memakai baju dan pergi lewat pintu dapur yang tidak dikunci Tiyah. Jodi turun dari gendongan bapaknya dan duduk di sofa persis ditempat Anto rebahan sambil menikmati es krim.
Tiyah tergagap – gagap menyapa Kus yang kini ada dihadapannya.
“Mas,,, tolong jangan salah paham,,, mas tolong jangan salah paham,,,” Tiyah membuka awal pertengkaran itu.
Belum usai Kus menjatuhkan air mata bahagianya karena tak kuasa melihat Jodi yang tumbuh besar, kini Kus harus menjatuhkan airmata deritanya melihat istrinya selingkuh dibelakangnya. Sangat kontras keadaannya.
Kus hampir terjerembab, laki – laki sekekar Kus jatuh didepan pintu dekat guci putih setinggi 30 centimeter bercorak naga china. Dibantingnya guci itu, gomprangggggg….
Maka berserakanlah pecahan – pecahan guci, seketika itu pula Jodi keluar dan agak ketakutan. Kus membiarkan anaknya keluar dan dia berharap Jodi pergi ke rumah Uno.
Tiyah, namamu Kustiyah… namun rupanya kau tak setia...
Tak setia, sabar menunggu suamimu mencari nafkah.

0

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts