#ide dari cerpen ini, dari kondisi teman - teman pekerja di
korea selatan.
Selamat membaca…
Masih pemula, jadi ceritanya ya gitu deh. hahaha
___________________________________________________
Gompraaaang…
Bunyi
piring dari rak yang dibeli diawal pernikahan itu melayang jatuh didekat kompor
gas disisi kanan pintu dapur, tepat diawal bulan Januari.
Keluar
kau! Suara itu memekikan telinga Tiyah.
Keluar
kau dari rumah ini, ini rumahku, hasil jerih payahku, tak berhak lagi kau ada disini.
Keluarrrrrrr!
Piring bermotif bunga – bunga yang kedua itu pun melayang dan menabrak lemari
makanan, pecah berkeping – keping menyentuh lantai keramik yang berwarna cokelat.
Tiyah,
tampak meringis kesakitan, kakinya menyentuh serpihan beling, berdarah di ujung ibu jari kakinya
namun dibiarkan begitu saja, tampak setitik – titik darah menetes, sedangkan
Kus hanya tergagap – gagap, menceracau, sembari mengepalkan tangannya, agak
beringas.
Tiyah
keluar dari dapur itu setelah pertengkaran yang dimulai 1 jam 15 menit yang
lalu, cap telapak tangan dipipi Tiyah dari Kus cukup membuat Tiyah sadar bahwa
Kus kini bukan lagi Kus yang Tiyah kenal.
Dik!
Mas akan pergi jauh minggu depan, mas dapat orderan menjadi mandor kuli
bangunan di pulau Sumatera, ada pembangunan Mall di daerah Bengkulu. Kata Kus
memulai percakapan di suatu pagi tepat diawal tahun kepada Tiyah diteras depan
rumah mereka, ketika itu Tiyah menyugukan singkong goreng dan teh pahit
kesukaan Kus.
“Berapa
lama mas?” Tanya Tiyah langsung ketika Kus selesai memulai percakapan itu.
“Satu
setengah tahun dik! lumayan uangnya buat anak kita yang sedikit lagi masuk SD.
Jodi kan sekarang berumur 6 tahun kurang, kita sudah harus memikirkan
pendidikannya”.
“1
½ tahun! Bengkulu!” pekik Tiyah
“Apa
tidak terlalu jauh mas!” Ketus Tiyah yang merasa akan kesepian selama 1 ½ tahun
bila hal itu terjadi. Membayangkan tidak ada suami disisi Tiyah membuat dahi
Tiyah mengerut lipat tiga. Membayangkan saja Tiyah sudah ngeri, apalagi diburu
dengan waktu yang seminggu lagi suaminya akan pergi jauh dan tentunya lama.
“Tapi
harus bagaimana lagi dik, mas sudah teken kontrak disana, karena sekarang jadi
mandor kuli bangunan susah, banyak pesaingnya. “Mas diberi kepercayaan disana, ada
Diman juga, tetangga kita yang ikut ko’,
memang sih dia masih bujangan jadi tidak ada tanggungan keluarga, tapi katanya
orangtuanya juga sempat khawatir namun akhirnya diijinkan juga”.
Jawab Kus menimpali Tiyah dengan mimik datar.
Lantas,
gimana dik! Mas sudah kepalang tanggung, buat Jodi anak kita dan tentunya agar
dapur tetap ngebul asapnya”. Tukas Kus, menjawab lamunan sesaat Tiyah.
Waktu
pun berlalu, Tiyah memang tidak memberi jawaban yang pasti, menggantung
tepatnya. Namun Kus tetap melanjutkan mempersiapkan segala keperluan mulai dari
mengepak 3 baju baru dan 2 celana yang ada dilemari, sajadah dan sebagainya dan
tak lupa pula foto keluarga, Kus, Tiyah dan anak mereka, Jodi.
Tepat
satu minggu pun berlalu…dan Tiyah melepas Kus dengan deraian airmata, sedangkan
Jodi tidak ikut karena takut sakit ditinggal ayahnya. Hanya Tiyah dan keluarga
Diman.
Sehari
setelah ditinggal Kus, Tiyah seperti orang linglung, batinnya tak mampu dia
kuasai, raganya tak mampu dia kendalikan. Tiyah tampak seperti orang yang
kehilangan arah, walau Tiyah tahu bahwa Kus pergi bukan untuk bersenang –
senang tapi sedang mencari nafkah buat mereka.
Rutinitas
seperti biasa terus dilakukan Tiyah, sedangkan anaknya, Jodi agak rewel diawal
– awal, selalu bertanya kemana bapaknya.
“Bu,
Bapak mana!” Tanya Jodi polos, Jodi anak laki satu – satunya buah cinta Tiyah
dan Kus yang belum genap 6 tahun.
“Minggu
lalu Bapak belikan Jodi es krim, motor – motoran sama baju Batman!”. “Bapak
kemana bu, kangen nih, ade!” Seru Jodi sambil memainkan motor – motorannya maju
mundur.
“Bapakmu,
sedang kerja!”
Terdengar agak ketus Tiyah menjawab pertanyaan
anaknya.
Demikian,
Jodi setiap hari menanyakan perihal bapaknya.
Walaupun
Jodi bisa dibohongi, tetapi ternyata batin Tiyah luntur oleh keadaan
kesepiannya.
“Permisi
bu, Mau ngecek meteran KWH”. Seseorang laki – laki berseragam dengan taksiran
umur 32 tahun membuyarkan lamunan Tiyah disuatu sore, sekitar jam 4.
Oh,
iya mas, silakan…
Selang
5 menit kemudian, si mas – mas berseragam itu pun pamit, tugasnya sudah selesai
karena hanya mengecek meteran KWH dan mencatatnya. Tiyah pun meneruskan
lamunannya sambil memandangi si mas – mas berseragam itu hilang menjauh dari
rumahnya, tapi Tiyah sempat menghapalkan wajah dari sosok laki – laki itu.
Tiga
minggu setelah kepergian Kus, Tiyah tampak sudah mulai terbiasa melakukan apa
saja tanpa kehadiran Kus, membetulkan dan mengganti lampu WC yang sudah mati,
menyiram sayur – sayuran dengan air sungai yang diambilnya dari kali kecil yang
melintasi tepat disamping warung tetangganya.
Kus
menepati janjinya, tepat satu bulan, Kus mentranfer uang ke rekening Tiyah yang
memang sengaja dibuatkan Kus untuk Tiyah untuk keperluan sehari – hari dan
meminta Tiyah untuk membagi rata keperluan pribadi, rumah tangga dan ibu serta
mertua Kus. Hasilnya juga cukup lumayan bahkan bisa dikatakan diatas rata –
rata penghasilan Kus selama ini sebagai mandor kuli bangunan di kota tempatnya
keluarga mereka berada.
Tibalah
Tiyah membayar tagihan listrik ke PLN terdekat, pagi – pagi setelah
mengantarkan Jodi ke tetangganya, karena jarak terdekat PLN adalah 2 jam naik
bus dan Jodi tidak ikut, karena selalu
muntah kalau naik bus.
Tiba – tiba Tiyah tanpa sengaja
bertubrukan dengan seorang lelaki yang berlawanan arah sehingga tubuh Tiyah
agak limbung beberapa saat. “Maaf bu,,, maaf bu, saya buru – buru”
Sambil membetulkan letak kacamata, si laki – laki itu berkata: Eh
ibu.... yang dulu melamun itu ya, saat saya mengecek KWH dirumah ibu, kebetulan
saya masih ingat karena waktu itu rumah ibu paling terakhir saya cek dan waktu
itu ibu terlihat tampak murung. Saya mau menyapa juga tak berani” Basa – basi yang dilakukan lelaki itu biar tidak dikira kurang
ajar dan ternyata tebakannya benar, si ibu tersebut mempunyai satu frekuensi
yang sama.
Ohhh,
mas yang datang sore itu ya, mengecek
meteran KWH? Tanya Tiyah setengah tahu dan dan
sedikit- sedikit memerhatikan jenggot lelaki itu, tampak ganteng.
Ya, betul bu. Jawab lelaki tersebut.
“Ya
sudah ibu bayarkan
saja dulu tagihan listriknya. Saya juga nanti kesini lagi, saya mau
mengantarkan surat ke pelanggan dekat sini”. Sela lelaki berseragam PLN itu
kepada Tiyah, karena buru - buru pergi.
Tiyah
pun menuju loket pembayaran dan mengantri…
Kus
kerja sebagai mandor kuli bangunan, dia tampak cekatan mengatur segalanya
karena semenjak remaja Kus sudah menjadi kuli bangunan dan dia termasuk kuli
bangunan yang terampil, cekatan dan disiplin. Atas inisiatifnya dia membentuk
semacam kelompok kecil menaungi beberapa kuli bangunan dan mengkoordinirnya,
maka sekarang dia menjadi mandor. Cukup disegani karena Kus bersikap adil
kepada anak buahnya walaupun anak buahnya lebih tua darinya. Kus kini beranjak
33 tahun, setahun lebih tua dari lelaki PLN itu.
Sedang
asyiknya menunggu giliran pembayaran, Tiyah disapa oleh lelaki berseragam PLN
tadi. “Maaf ya bu, tadi saya menabrak ibu, lelaki itu memulai percakapannya.
Saya
Anto bu, baru 6 bulan kerja disini bantu – bantu pengecekan ke rumah – rumah,
dan kalau sedang tidak mengecek saya jadi seksi sibuk disini. Hahaha, Anto
berbasa – basi sambil tertawa sehingga gusi merah segarnya tampak kelihatan.
“Jangan
panggil saya ibu ah, panggil mbak saja”.
“Kalau
diingat – ingat... awal kita bertemu, waktu itu saya sedang melamun memikirkan
suami saya yang sedang merantau ke pulau seberang, kebetulan ada masnya yang
membuyarkan lamunan saya”. Tiyah
menimpali pembicaraan Anto sembari menunggu giliran untuk membayar tahigan
listrik, ketika itu Tiyah duduk dipinggir pada barisan keempat.
Oh,
jadi suami mbak sedang kerja di pulau seberang, pulau mana mbak? Bali,
Kalimantan, atau Sumatera…
“Yang
terakhir mas!” jawab Tiyah yang tidak mau menyebutkan nama pulaunya karena
kadung rindu kepada Kus.
Oh…
Kalau saya…
“Nomor
urut 26… !” Suara petugas loket pembayaran terdengar memotong pembicaraan
mereka.
“Oh
maaf mas, giliran saya membayar. Sebentar saya membayar tagihan iuran listrik
dulu, nanti kita teruskan ngobrolnya. Maaf ya mas!”.
“Tidak
apa – apa mbak”. Anto pun pergi dan kembali beraktivitas.
Di
kantor PLN itu, Tiyah dan Anto tidak lagi meneruskan pembicaraan yang sempat
terpotong itu karena Tiyah dan Anto tidak bertemu, Anto ditugasi atasannya
untuk membantu bagian gudang sedangkan Tiyah selepas membayar langsung pulang
ke rumah.
Jodi
tampak senang, karena sepulang dari rumah Tiyah membelikan buah melon kesukaan
Jodi ketika itu Tiyah sengaja mampir ke pasar dan
mereka pun makan
bersama dirumah tetangganya.
Namun
ketika hendak pulang dari rumah tetangganya, Tiyah berpapasan dengan Anto.
Ternyata Anto mengontrak sebuah kontrakan
di dekat rumah Tiyah, baru seminggu Anto pindah
dari kontrakan yang lama. “Lho mas tinggal disini,,,,” Tiyah mengawali
pembicaraan tersebut. “Iya mbak, saya pindah dekat sini, kontrakan lama, sudah habis
masa kontraknya dan saya ingin
mencari kontrakan baru. Kebetulan sekarang lagi istirahat dan saya mau masak di
kontrakan saya. Jawab Anto.
“Lho
memang istrinya kemana mas, ko’
laki – laki masak sih? Bukannya tinggal makan?” Tanya Tiyah serius.
Hmmm,
istri saya sudah meninggal 4 bulan yang lalu ketika melahirkan anak kedua kami,
anak pertama saya, saya titipkan ke mertua, katanya mertua sih, sebagai
pengganti sosok istri.
“Oalah,
maaf ya mas, saya tidak bermaksud mengungkit – ungkit”. Jawab Tiyah setengah iba.
“Kalau
mau makan, ke rumah saja mas, kebetulan saya sebelum ke PLN masak, cuma balado ati ayam sama sayur asem,
ya itung – itung menyambut tetangga baru”.
“Wah
boleh tuh mbak, kebetulan saya juga dalam buru – buru, tadi sih cuma mau masak
mie instan doang”.
Maka,
Jodi, Tiyah dan Anto pun ke rumah.
Hari
pun terulang secara sama. Tiyah bertemu dengan Anto hampir setiap hari. Tak
dinyana, dari pertemuan – pertemuan itu lama – kelamaan muncul noktah – noktah
kasih sayang diantara keduanya, ketika itu pula setan menyulam jaring – jaring
kemaksiatan. Kebetulan Anto adalah duda baru, sedangkan Tiyah adalah seorang
istri yang ditinggal suaminya pergi.
Kus
yang setiap bulan mengirimi Tiyah uang, lewat buku tabungan yang dibukanya
diawal keberangkatan Kus tidak tahu bahwa uang yang kiriminya itu, Tiyah
gunakan untuk menarik perhatian Anto sedangkan Anto pun terlena karena
kehadiran Tiyah yang sedikit mirip dengan sosok istrinya yang telah tiada.
Anto
semakin sering ke rumah Tiyah, Tiyah terperangkap jaring – jaring setan. Tiyah
selingkuh dibalik kepergian suaminya merantau, Tiyah tak kuasa menahan
kesendirian, iman Tiyah goyah.
Gelas
yang dipegang Kus tiba – tiba jatuh, sesudah mengucap istighfar, Kus teringat
sudah setahun dia tidak bertemu Tiyah dan Jodi anak laki – lakinya, dia yakin
anak laki – lakinya itu sekarang sudah mulai masuk sekolah. Tak terasa airmata
Kus mengalir setitik – titik, membayangkan Jodi menyalami tangan Kus untuk
pamit pergi ke sekolah. Tubuh Kus yang kekar tidak menyurutkan airmatanya untuk
jatuh.
Kus
minta cuti 2 minggu kepada atasannya, dengan alasan dia ingin pulang kampung,
atasannya pun mengijinkannya, sebenarnya Kus bisa mengambil cuti kapan saja,
tapi dia pikir lebih baik uangnya disimpan dan dikirim ke rumah daripada harus
berlibur atau lain sebagainya, namun kali ini Kus sudah tak bisa menahan
kerinduan kepada istrinya dan utamanya kepada anak laki satu – satunya.
Kus
pulang tanpa sepengetahuan Tiyah karena ingin membuat kejutan, kejutan seorang
lelaki gagah yang bertanggungjawab untuk menemui permaisuri tercinta. Kus
gemetar ketika sampai di terminal kampungnya, Kus ijin 2 minggu untuk menemui
mantan pacarnya yang kini sudah menjadi ibu buat anaknya. Kus berjalan dari
terminal ke rumah...
Dari
kejauhan, tampak Jodi sedang asyik bermain dipelataran rumah tetangga bersama
Uno, anak tetangga Kus yang jarak rumahnya berbeda 3 rumah dari rumah Kus.
“Dede,,,”
Dari kejauhan Kus menyapa anak semata wayangnya.
“Dedeeee....
Ini bapak, nak. Bapaak kangennnn sama dede,,, bapak pulang nak!” Maka
berlarianlah Jodi memeluk bapaknya.
Sesekali
Kus mengusap airmata tanda senang dan bahagia. Kus memeluk erat Jodi.
Ini
bagikan ke Uno, oleh – oleh dari Bengkulu, cinderamata berbentuk bunga
Rafflesia Arnoldi yang Kus sengaja belikan buat orang – orang rumah. Tak lupa
pula kus membeli donat dan sekantong es krim diperjalanan. Baju untuk Jodi juga
telah dipersiapkan.
“Bapak kangen kalian, nak! Bapak cuti
dari kerja setelah setahun tidak bertemu dengan kalian, bapak kangen… seru
seorang bapak kepada anaknya, Jodi... sambil sesegukan sekali – kali. Kamu sudah besar, Jodi…” Pekik Kus saking gembiranya bertemu
dengan anak lelakinya itu.
Mari
pulang nak, bapak juga kangen ibumu, Jodi yang polos mengikuti perkataan
bapaknya. Jodi juga sesegukan menahan haru akhirnya bisa bertemu dengan
bapaknya dan hampir lupa dia juga mau mengenalkan paman yang selama ini tinggal
dirumah mereka, tapi kala itu Jodi jadi lupa ketika bapaknya memberikan baju
Spiderman favoritnya Jodi, selain Batman.
Pintu
tidak dikunci agak terbuka dari dalam
dan waktu menunjukan kira – kira pukul 2 siang, seorang
laki – laki sedang menonton televisi dengan
volume suara agak keras di ruang tamu sambil menikmati
semilir angin dari kipas angin, hawa diluar rumah sedang panas – panasnya, 34
derajat celcius. Kus tergagap bukan kepalang, karena sosok laki – laki itu
tidak dia kenal dan sedang bertelanjang dada sambil sesekali menguap. Bapak,
itu paman yang menginap hampir setiap
hari dirumah, paman ini baik lho pak,,, setiap hari memberikan Jodi es krim dan
menyuruh Jodi main kerumah Uno. Percakapan itu membuat Anto kaget dan
tercengang. Dari dapur, tampak Tiyah membawa segelas es buah yang dibelinya
diwarung tetangga.
“Mas,
ini mas esnya!”, celoteh Tiyah centil.
Pecah,
gelas es itu
seketika jatuh ke lantai, tatkala Tiyah
melihat sosok yang dikenalnya berada di tepi pintu
bermotif ukiran jawa. Tubuh Tiyah lemas seketika, gemetar, gigi – giginya
gemeritik tak bersuara, sekat rongga suaranya tertahan oleh sesosok laki – laki
yang setahun meninggalkannya. Buru – buru Anto memakai baju dan pergi lewat
pintu dapur yang tidak dikunci Tiyah. Jodi turun dari gendongan bapaknya dan
duduk di sofa persis ditempat Anto rebahan sambil menikmati es krim.
Tiyah
tergagap – gagap menyapa Kus yang kini ada dihadapannya.
“Mas,,,
tolong jangan salah paham,,, mas tolong jangan salah paham,,,” Tiyah membuka
awal pertengkaran itu.
Belum
usai Kus menjatuhkan air mata bahagianya karena
tak kuasa melihat Jodi yang tumbuh besar, kini Kus harus menjatuhkan airmata deritanya melihat istrinya selingkuh dibelakangnya. Sangat kontras keadaannya.
Kus
hampir terjerembab, laki – laki sekekar Kus jatuh didepan pintu dekat guci
putih setinggi 30 centimeter bercorak naga china. Dibantingnya guci itu,
gomprangggggg….
Maka
berserakanlah pecahan – pecahan guci, seketika itu pula Jodi keluar dan agak
ketakutan. Kus membiarkan anaknya keluar dan dia berharap Jodi pergi ke rumah
Uno.
Tiyah,
namamu Kustiyah… namun rupanya kau tak setia...
Tak
setia, sabar menunggu suamimu mencari nafkah.
0 comments:
Posting Komentar